Tag
armansyah putra, China, Fujifilm XT 1, islam, islam di china, jalan-jalan, masjid agung xi'an, muslim quarter, muslim street, orang muslim di china, Perjalanan, sony experia z4, traveling
Waktu Isya di Masjid Agung Xi’an—–Hari semakin gelap, aku dan Molly masih tak menemukan letak Masjid Agung Xi’an. Peta digital ditangan tak banyak membantu, kami hanya berputar-putar disekitar Muslim Quarter. Setiap kali bertanya, jari orang selalu menunjukkan arah yang berbeda. Aku tak hendak berburuk sangka, mungkin merekapun tak paham pertanyaannya. Sayup terdengar suara Azan bercampur dengan teriakan pedagang. Beberapa tempat dibelahan dunia lain, setiap kali azan berkumandang maka seluruh kegiatan dihentikan, di negeriku walaupun tak sampai berhenti tapi biasanya orang akan berbicara sambil berbisik, tapi disini seperti tak ada kejadian apa-apa. Situasi yang tak menjadi masalah berarti buatku, seperti pepatah bilang “lain lubuk lain ikannya” dan bukankah perjalanan itu memupuk toleransi dan memahami perbedaan ? setidaknya itulah pendapatku.

Papan penunjuk yang menginformasikan sejarah Masjid dalam beberapa bahasa
Mataku mencoba awas mencari sumber suara, dipinggir jalan terlihat sebuah bangunan dengan tembok yang terlihat tua dan sedikit kusam. Ini yang kucari, batinku. Aku mencari-cari pintu masuk ketika tak lama seorang laki-laki dengan perawakan tinggi besar menggunakan peci putih keluar dari gerbang. Tak ada basa-basi, dan dengan bahasa yang tak kumengerti dia menunjukkan satu arah, sementara tangan lainnya menepuk bahuku seakan memberi isyarat ikuti saya. Langkahnya tegap dan cepat sekali, aku setengah berlari mengikutinya sementara Molly makin tercecer dibelakang. Hanya berjarak kurang lebih 50 meter laki-laki itu menghentikan langkahnya dan menunjuk ke sebuah lorong. Baru terlihat papan yang menunjukkan lokasi Masjid Agung Xian terselip diantara tenda pedagang. Akhirnya kami menemukannya, namun yang mencengangkan, bagaimana mungkin laki-laki tinggi besar dan berpeci putih itu tau tujuanku ? Padahal aku tak berbicara apapun. Mungkin sebuah kebetulan atau keajaiban ? Entahlah, aku menikmati saja.

Pendopo Masjid Agung Xi’an
Sampai di gerbang pagar Masjid malam sudah merayap, kulihat beberapa orang pemuda duduk sambil berbincang di bangunan kecil mirip pos security. Kembali aku dihampiri seorang laki-laki dan mulai terlibat pembicaraan dengannya.

Bangunan utama Masjid Agung Xi’an
Razak (R) : Assalamuaikum
Arman (A) : Alaikumsalam
R : Kamu mau Sholat
A : Iya (Azan Isya mulai berkumandang)
R: Saya akan antar kamu ketempat wudhu
A : Terimakasih pak
R : Kamu dari Malaysia ?
A : Saya dari Indonesia Pak
R : Oo.. Indonesia, Apa kabar ?
A: Baik pak, Bapak bisa berbahasa Indonesia ?
R : Tidak, saya hanya tau apa kabar dan terimakasih
A : Saya Arman pak, nama bapak siapa ?
R : Saya Abdul Razak
Sesampai ketempat wudhu, beberapa orang berkumpul dan pak Razak menyampaikan sesuatu yang tak kufahami artinya.

Interior dalam Masjid dan beberapa jemaah yang bersiap untuk sholat Isya / Sony Xperia Z4
Azan usai, dari belakang sang Imam diiringi beberapa orang memasuki Masjid, diiringi Iqamah, Makmum mulai menyusun saf. Selesai Sholat Isya aku sempatkan berkeliling Masjid yang dibangun kurang lebih 3 abad sejak Kerasulan atau abad ke 8 masehi, Kitab-kitab dengan aksara mandarin tersusun di sudut Masjid, beberapa jamaah dengan khusu’ membaca kitab suci Al Quran sementara yang lainnya asik berbincang. Aku mengamati dinding bagian dalam yang dipenuhi dengan kaligrafi ayat-ayat suci dan ukiran berbentuk tumbuh-tumbuhan. Aku sempatkan mengambil beberapa foto dengan menggunakan kamera handphoneku.

Kaligrafi ayat suci Alquran
Tak lama aku memutuskan keluar dari Masjid, dari jauh kulihat Molly merapatkan jaketnya karena malam yang semakin dingin. Aku masih tak puas, mencoba mengitari sekeliling Masjid seluas 13.000 meter dengan bangunan utama seluas 6000 meter untuk menampung jamaah yang umumnya berasal dari suku Hui. Tak berbentuk Masjid yang ku kenal selama ini, tak ada kubah atau lambang bulan bintang. Hanya bangunan dengan arsitektur oriental dan lebih mirip kuil Budha yang ada dihadapanku. Sayangnya gelap malam sedikit menghambatku untuk mengabadikannya. Tapi keanggunan serta kemegahan rumah Tuhan pertama di China menggetarkan hati sekaligus menyejukkan jiwaku.

Ornamen yang menghiasi dinding Masjid Agung Xi’an
Tak ada perjalanan yang tak usai, akupun meninggalkan Masjid Agung Xi’an. Sepanjang perjalanan menuju gerbang aku berpapasan dengan beberapa orang yang selalu mengucapkan salam seiring senyum ramah yang selalu tersungging dari bibirnya. Sesampai di gerbang pak Razak dan teman-temannya sedang berkumpul, ku ucapkan salam dan berpamitan. Semua orang dengan ramah menyambut seolah aku teman yang sudah lama tak berjumpa. Merekapun mengucapkan terimakasih atas kunjunganku.
Kembali menyusuri jalan di Muslim Street Xi’an, tersirat kesan mendalam dalam hatiku, bahwa meski jauh dan baru pertama berjumpa, tapi sebagai sesama muslim kita bersaudara. Terimakasih Saudaraku, Semoga kita semua selalu dalam lindungan Nya.