Tag
alif stone park, blogger, Indonesia, kepulauan riau, natuna, Photography, ranai, taman batu, travel blogger, traveling





16 Rabu Jan 2019
Posted Home, Perjalanan
inTag
alif stone park, blogger, Indonesia, kepulauan riau, natuna, Photography, ranai, taman batu, travel blogger, traveling
03 Jumat Mar 2017
Posted Home, Perjalanan
inTag
fujifilm xpro 2, galang, hitam putih, kamp pengungsi, kepulauan riau, laut cina selatan, manusia perahu, monochrome, pantai yang indah, perang vietnam, pulau galang, sejarah kampung vietnam, solo traveling, travel bloger, traveling
Perang menciptakan peradaban baru sekaligus menyisakan tragedy kemanuasiaan yang tak termaafkan (arman)
Vietnam 1955-1975 menjadi medan laga antara Amerika, China serta beberapa negara lain dan berimbas samapai ke Indonesia. Sisa peninggalannya masih dapat kita lihat di Pulau Galang Provinsi Kepulauan Riau.
Pagar kawat berduri, umumnya digunakan untuk memisahkan satu komplek bangunan dengan yang lainnya
Tak sulit untuk mencapai bekas kamp pengungsi Vietnam di pulau yang sempat menjadi tempat penampungan 250.000 orang pengungsi korban perang. Dari kawasan Nagoya (pusat bisnis kota Batam) aku dengan motor matic pinjaman berangkat pagi hari menuju kesana, melewati kawasan industri Muka Kuning.
Pagi itu jalanan cukup ramai dengan kenderaan terutama roda dua. Mereka terlihat terburu-buru menuju ketempat kerja. Sampai di persimpangan menuju jembatan Barelang jalanan lebih sepi, akupun mulai memacu motorku.
Barelang sendiri adalah singkatan dari Batam-Rempang-Galang. Nama yang mengacu kepada pulau yang dihubungkan oleh jembatan yang berjumlah 6 buah. Merupakan jembatan pertama di Indonesia yang menghubungkan pulau, jauh sebelum jembatan Suramadu yang menghubungkan kota Surabaya dengan pulau Madura.
Melewati jembatan demi jembatan motor bertenaga 100 cc itu semakin kencang kupacu. Gas pol istilahnya, jalanan sepi dan lebar dengan aspal yang mulus membuatku jadi lupa diri, sampai tiba-tiba motorku oleng nyaris terjatuh akibat tiupan angin kencang dari samping. Sejenak jantungku berdegup kencang, aku coba menguasai diri dan kembali memacu motorku, namun kali ini lebih pelan dan lebih berhati-hati.
Perahu yang digunakan para pengungsi untuk sampai ke Pulau Galang. Perahu kayu ini diisi 40 sampai 100 orang pengungsi
Hampir 2 jam aku menghabiskan waktu di jalan sampai juga ke gerbang kamp pengungsian manusia perahu. Sebutan yang disematkan kepada para pengungsi karena kedatangannya menggunakan perahu kayu yang diisi antara 40 sampai dengan 100 orang pengungsi.
Setelah membayar registrasi di gerbang masuk sebesar Rp. 10.000,- (Rp. 5.000 untuk orang dan Rp. 5.000 untuk sepeda motor) aku mulai mengelilingi kamp pengungsi.
Sisa peninggalan pengungsi dapat dilihat ditempat ini, walaupun sebagian hanya tinggal puing yang termakan waktu. Kamp yang mulai beroperasi pada tahun 1979 ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap yang dibangun oleh pemerintah Indonesia dan badan PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR.
Ada banyak kisah tragis selama priode itu sampai akhirnya kamp ini ditutup secara resmi pada tahun 1997. Tentang pengungsi yang menolak dikembalikan ke Vietnam pada akhir priode perang dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri dipohon, menjadi salah satu kisah yang mengerikan sekaligus memilukan.
Aku juga mendapat cerita dari seorang bapak tua yang tak mau menyebutkan namanya di sebuah vihara, bahwa dahulu tak hanya pengungsi dari negara Vietnam yang ada disini. Sebagian kecil juga pengungsi dari negara Cambodia. Kedua bangsa ini harus dipisahkan dan dijaga oleh Brimob Indonesia, karena seringkali terjadi perkelahian apabila mereka bertemu satu dengan yang lainnya.
Cerita yang tak bisa ku validasi kebenarannya, karena aku tak memperoleh data lainnya. Tapi mungkin saja hal itu benar adanya, mengingat Cambodia juga menjadi salah satu medan perang pada priode itu.
Tak jauh dari gerbang masuk camp pengungsi terdapat sebuah patung yang dikenal sebagai humanity statue (patung kemanusiaan). Patung yang menjadi pengingat kisah tragis lainnya di kamp ini. Tentang seorang perempuan bernama Tinhn Han Loai yang menjadi korban pemerkosaan sesama pengungsi. Dan pada akhirnya memutuskan untuk bunuh diri karena tak sanggup menahan malu. Dia gantung diri persis di lokasi patung yang didirikan sebagai pengingat kejadian tersebut.
Humanity statue, mengenang kisah Tinhn Han Loai
Dibalik rumpun bambu yang lebat aku melihat sisa bangunan, kiranya bekas gereja Protestan yang sama sekali tak terurus. Dinding bangunan nyaris tak ada lagi dan hanya tersisa kerangka bangunan dan atap seng yang nyaris lepas. Tiupan angin yang cukup kencang menimbulkan suara-suara yang cukup mencekam. Bagian utuh hanya sebuah salib yang tersandar di tiang bangunan dan hanya itu yang menunjukkan bahwa dulu banguna ini adalah rumah ibadah bagi agama Kristen.
begas tempat peribadatan agama Kristen Protestan
Kursi jemaat gereja
Aku melintasi komplek bangunan yang diberi nomer didinding bagian luarnya. semak dan sulur pohon nyaris menutup seluruh bangunan. Aku tak tau persis fungsi bangunan ini untuk apa. Mungkin rumah karantina atau kantor staf UNHCR? Suasananya begitu sepi sampai aku bisa mendengar suara nafasku sendiri.
Bagunan terlantar
Papan petunjuk
Tapi galang tak hanya reruntuhan, beberapa bangunan masih berdiri kokoh bahkan masih berfungsi. Rumah sakit yang masih terlihat baik walau dengan kaca jendela yang nyaris pecah semuanya. Sedangkan barak pengungsi terlihat masih utuh, sepertinya baru habis di restorasi untuk kepentingan wisata.
Bekas bangunan rumah sakit
ruangan di rumah sakit
Kaca jendela rumah sakit yang pecah
Pohon liar tumbuh di ruangan rumah sakit
Dilarang membuang sampah sembarangan
Bangunan tempat ibadah umumnya masih terawat seperti mushola kecil, Vihara dan gereja katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem masih megah berdiri. Dibawah papan nama gereja ini tertulis “Galang, Memory of a tragedy past” (tragedi kemanusiaan akibat perang)
Mushala tak bernama
Gereja Katolik gereja katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem pulau Galang
Aku memasuki area gereja dan berbincang dengan mama Pridi, seorang perempuan yang berasal dari Adonara, Flores NTT. Tugasnya menjaga dan merawat gereja. Mama baru bertugas tiga bulan menggantikan petugas lama yang meninggal dunia karena sakit. Dari mama aku mendapat informasi bahwa pada saat-saat tertentu tempat ini sering dikunjungi oleh orang-orang dari Amerika sana. Tak jarang mereka meneteskan air mata sewaktu melihat tempat ini. Dapat dimaklumi mengingat keterlibatan bangsa Amerika dalam perang itu sendiri.
Mama Pridi, pengurus Gereja Katolik dari Adonara NTT
Selain Amerika, pengunjung dari Vietnam pun sering datang. Tujuannya tentu saja untuk bernostalgia atau sekedar berziarah ke komplek makam Ng Hia Trang Grave. Tempat pemakamanan tempat 503 orang pengungsi dimakamkan yang meninggal akibat penderitaan selama perjalanan maupun karena penyakit. Memasuki komplek ini terdapat tulisan dalam 4 bahasa ;
“Dipersembahkan kepada para pengungsi yang meninggal dunia pada waktu perjalanan menuju kebebasan”
Komplek makam Nghia-Trang Galang
Motor matic yang setia menemaniku selama perjalanan
Selebihnya sunyi yang mendominasi. Hanya sekumpulan monyet liar berkumpul di jalanan. Monyet liar yang nampak ramah dan tak mengganggu pengunjung. Ketika sebuah mobil berhenti di sekitarnya dan melemparkan sisa sisa makanan,, hewan itu berlari gembira dan berkumpul disekitar mobil.
Kantor polisi Indonesia. Lantai 1 merupakan sel tahanan bagi para pengungsi yang melakukan tindakan kriminal atau berkelahi
Pintu sel tahanan
Pintu mobil terbuka dan seorang remaja keluar sambil membidikkan senapan angin ke arah monyet yang tak sadar bahaya. Reflek aku melompat dari tempat dudukku, berlari mendekat dan berteriak gila.
“Monyet itu salah apa????”
“Monyet itu mengganggu hidup lu ???”
tak ku pedulikan moncong senapan itu bisa saja diarahkan kepadaku. Remaja itu tertunduk diam dan pelan-pelan kembali masuk kedalam mobil. Mungkin nyalinya ciut juga.
Aku tak peduli
(Photo diambil menggunakan kamera Fujifilm Xpro 2, lensa Fujifilm 14 mm f 2.8, 35 mm f 2 dan Carlzeis 50 mm f 2.8)
12 Kamis Jan 2017
Posted Home, Perjalanan
inTag
Catatan, catatan perjalanan, Fotografi, fujifilm xpro 2, Indonesiaku, kepulauan riau, pulau penyengat, solo traveling, travel, traveling
Aku terjaga, ketika sinar matahari tembus disela-sela tirai jendela kamar penginapanku. Secara reflek aku melompat dan menyibak tirai menantang cahaya yang menyilaukan mata. Aku telah melewatkan banyak hal pagi ini.
Tak mau membuang waktu lagi, aku meraih handuk mengerjakan hal yang tertunda kemarin, yaitu mandi. Air dingin mengguyur tubuh, mengembalikan kesegaranku. Selesai mandi, terburu-buru aku merapikan semua barang yang berserakan di lantai dan menjejalkannya secara paksa kedalam ransel.
Setelah memastikan tak ada lagi yang tersisa, aku melesat menuruni tangga. Kulihat petugas jaga penginapan masih pulas diatas lantai loby. Sepertinya dia yakin sekali tak akan ada kejahatan di pulau ini. Tak mau terlalu ambil pusing, aku membuka pintu dan keluar dari penginapan. Tujuanku sarapan pagi. Tak jauh dari situ aku menemukan sebuah warung yang dibuka di teras sebuah rumah. “Kak, ada jual sarapan apa ?” tanyaku kepada seorang perempuan muda yang terlihat kelebihan berat badan.
Hanya tersedia satu menu, lontong (beras yang dimasak sampai menjadi padat) dan tak ada pilihan lain. Aku memesannya dengan segelas kopi hitam, tak lama kemudian beberapa pengunjung lain masuk dan mulai memesan menu yang sama. Sarapan yang terasa hambar dilidah tetap kupaksakan masuk kedalam perut. Beberapa orang lalu lalang, dan saling bertegur sapa. Kebanyakan mereka hanya membahas hal-hal yang ringan, seputar bumbu masakan atau sanak keluarganya di Singapura. Dihadapanku duduk seorang kakek, berperawakan kecil, berkacamata bulat menggunakan pakaian tradisional Melayu terlalu asik menikmati sarapannya sehingga tak menanggapi senyum bersahabatku.
Menikmati sarapan pagi
Selang beberapa waktu, masuk seorang nenek berperawakan tinggi berkulit putih, memesan sarapan untuk dibawa pulang. Kakek berkacamata bulat memulai perbincangan dengan topik mati. Si “anu” kemarin meninggal dunia, sanak keluarganya hari ini datang dari Singapura, Si “fulan” dua hari kemarin juga meninggal dunia meninggalkan sekian anak yang masih kecil, katanya sambil terkekeh. Kelihatannya topik ini menarik dan mereka membincangkannya dengan riang gembira.
Tak ingin terlalu lama, aku meninggalkan warung kembali ke penginapan “Shultan”. Aku meraih tas kamera yang telah kusiapkan sebelumnya. Sebelum berangkat aku minta ijin ke penjaga penginapan untuk chek out agak siang, karena aku merencanakan untuk menyaksikan pawai memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di pulau ini.
Masjid Raya Sultan Riau adalah tempat pertama kunjunganku hari ini. Lokasinya tepat di depan penginapanku, sehingga aku tak perlu bersusah payah untuk mencapainya. Masjid berukuran 54.4 x 32.2 meter ini berdiri megah dengan warna kuning mencolok tampak menonjol dibandingkan dengan bangunan disekitarnya. Terdapat 13 kubah dan 4 menara mengelilingi masjid yang berasitektur Melayu, Arab, India dan Turki. Uniknya masjid ini adalah bentuk kubah menara yang jika dilihat sepintas mirip bentuk menara kastil di Eropa atau bangunan dari negeri dongeng Disneyland. Dengan tembok tebal mencapai 50 cm, konon mereka menggunakan putih telur untuk merekatkan bata. Wallahualam…
Gerbang Masjid Raya Sultan Riau
Untuk masuk kedalam komplek masjid aku harus menaiki beberapa anak tangga. Pagi itu suasana sepi. Hanya ada seorang petugas yang mungkin bertanggung jawab atas kebersihan masjid. Aku melepas sepatu dan mulai berkeliling. Sewaktu aku bertanya kepada petugas yang melintas didepanku, dia tak mengijinkan untuk memotret bagian interior.
Bagian depan bangunan Masjid Raya Sultan Riau, Pulau penyengat
Masjid Raya Sultan Riau dari sisi lain
Disamping bangunan utama , terdapat bangunan lain di komplek masjid raya Sultan Riau
Memasuki bagian dalam masjid aku harus melewati dua pintu, pintu pertama terdapat sebuah ruangan yang tak terlalu besar, di bagian kiri terdapat lemari antik terbuat dari kayu, Kemungkinan digunakan untuk menyimpan kitab suci Al-Quran atau buku-buku agama lainnya. Melewati pintu kedua terdapat kotak kaca yang didalamnya terdapat kitab suci Al Quran tulisan tangan seorang penduduk pulau Penyengat yang belajar agama ke Mesir bernama Abdulrahman. Karena gaya penulisannya mengikuti gaya Turki maka ia lebih dikenal dengan nama Abdulrahman Stambul.
Didalam masjid aku tak menjumpai seorangpun. Sambil memperhatikan sekeliling aku mengeluarkan kamera mirrorless ku dari dalam tas. Cepat-cepat aku memotret. Aku telah melanggar aturan.
Interior Masjid Raya Sultan Riau berwarna putih dengan beberapa bagian termasuk mimbar di cat menggunakan warna emas
Interior dalam masjid ditopang beberapa tiang yang cukup besar
Al-quran tulisan tangan yang ditulis Abdulrahman Stambul,
Puas berkeliling, aku melanjutkan perjalanan dan sampai ke bangunan yang yang diberi nama Istana Kantor. Istana yang bergaya Eropa ini dipergunakan oleh Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali (1844-1857) selain dipergunakan sebagai tempat tinggal Raja Ali juga memfungsikannya sebagai kantor. Inilah yang menjadi awal penyebutan nama istana ini menjadi istana kantor. Bangunan ini terlihat kokoh namun kurang terawat. Di bagian belakang terlihat puing-puing, mungkin sisa-sisa dari bangunan lain di komplek istana ini.
Ruangan di gerbang masuk Istana kantor, kelihatannya digunakan untuk petugas pengawal istana atau sebagai menara pemantau
Istana Kantor, Pulau Penyengat
Arsitektur Istana kantor bergaya Eropa
Tak hendak berlama-lama, aku meninggalkan istana kantor yang megah dan berjalan tanpa memperhatikan arah. Tanpa sadar aku malah kembali ke Benteng Bukit Kursi yang telah aku kunjungi sehari sebelumnya.Sewaktu hendak berbalik, aku dikejutkan oleh seorang anak muda. Kiranya dia adalah petugas yang merawat benteng ini. Pemuda yang baik itu akhirnya menunjukkan jalan pintas melewati semak-semak menuju balai adat yang terletak dipinggir laut.
Aku pasrah mengikuti jalan setapak, melewati semak-semak dan sampai disebuah lapangan sepakbola yang tak ada rumputnya sama sekali. Ternyata lapangan bola ini persis berada dibelakang Balai Adat.
Aku mulai diselimuti rasa bosan. Bangunan besar berdinding kayu itu tak terlalu menarik perhatianku. Aku lebih memilih untuk berjalan di sebuah dermaga dan menikmati hembusan angin disana
Balai adat pulau Penyengat dari kejauhan, di dalamnya berisi pelaminan dan benda lain yang berhubungan dengan adat Melayu. Dikolong bangunan terdapat sebuah telaga yang konon apabila airnya diminum atau dipakai wudhu maka segala doa akan di Ijabah Allah SWT
Sebutir kelapa muda menjadi pengobat dahagaku siang itu. Rasa lelah dan keringat di tubuhku terusir sejenak. Beberapa orang turis disebelahku tertawa kencang sekali. Mereka berbicara dengan logat yang nyaris tak bisa kubedakan. Apakah mereka turis lokal, Malaysia atau mungkin Singapura ?
Istana Eku Bilik yang merupakan nama kecil dari Engku Hamidah
Menjelang jam 12 siang aku meninggalkan balai adat karena teringat janji supaya tepat waktu. Menuju ke penginapan aku melewati Istana Engku Bilik yang pintunya terkunci rapat. Demikian juga waktu aku tiba di komplek makam Yang Dipertuan Muda VI Raja Ja’far, aku hanya mengambil foto sekenanya saja.
Makam Yang Dipertuan Muda (YDM) VI Raja Ja’far
Semakin mendekati penginapan, jalan sempit yang sehari-harinya sepi, mulai ramai oleh anak-anak maupun orang tua menuju ke arah Masjid. Kiranya mereka mempunyai tujuan sama, yakni menyaksikan pawai menyambut Maulid.
Bersiap mengikuti pawai Maulid Nabi
Setelah menitipkan ransel di warung, aku larut ditengah massa. Ibu-ibu berbaju putih bersih dan berselendang biru tampak mendominasi. Dibagian depan formasi barisan drum band sudah berbaris rapi. Sesekali mayoret dengan pakaian kebesarannya melemparkan tongkat berbandul ke udara. Sebuah atraksi yang sampai kinipun tak ku mengerti maksudnya.
Ibu-ibu dari kelompok pengajian sebagai peserta pawai Maulid
Petugas pembawa kitab berdiri di barisan depan didampingi dua orang yang membawa kendi
Waktu matahari semakin tinggi dan panasnya menembus sampai ketulang. Sang pemimpin yang dijadwalkan membuka acara sekaligus melepas pawai tak kunjung tiba. Barisan yang awalnya rapi perlahan mulai bubar. Ibu-ibu yang berpakaian serba putih dengan selendang biru mulai membentuk formasi kelompok. Entah apa yang mereka bicarakan.
Kitab yang dibawa dibarisan paling depan
Peserta drum band yang berteduh di pinggir masjid
Para pemain drumband tampak gelisah. Sebagian dari mereka mulai meletakkan peralatannya dan memilih berteduh di sebelah Masjid. Anak kecil yang bertugas membawa spanduk duduk di aspal. Entah terbuat dari apa pantat mereka, bahkan sepatu bootku tak sanggup menahan panasnya, tapi buat mereka biasa-biasa saja. Pembawa acara berteriak-teriak lewat pengeras suara supaya mereka kembali kebarisan. Tapi wajah-wajah bosan itu seolah tak perduli.
Alat musik yang mereka letakkan begitu saja
Pembawa spanduk kontingen pawai
Berteduh dengan umbul-umbul
Peserta pembawa bendera
Bapak Walikota Tanjung Pinang, memberikan sambutan sekaligus melepas pawai
Disebelahku berdiri sepasang turis yang sepertinya dari mancanegara. Aku perkirakan mereka juga sama kecewanya denganku. Otakku berputar-putar, apakah aku akan tetap menunggu atau membuat rencana baru. Menjelang jam 14.00 siang, pembawa acara kembali berteriak bahwa sang pemimpin telah merapat. Dengan pengawalan ketat beliau menuju mimbar yang terhormat. Tak ada permohonan maaf, hanya sebaris kalimat pujian dan nasehat. Aku sempat di dorong oleh seorang pengawal karena dianggap menghalangi pandangan sang pemimpin. Tapi sudahlah akupun tak mau ambil pusing.
Sayang aku tak mengikuti akhir ceritanya. Memutuskan berbalik dan mengejar kapal yang sudah menanti dari tadi. Kembali ke Tanjung Pinang dan belum memutuskan selanjutnya kemana lagi.
Pulau penyengat, Kepri 12 Desember 2016
Semua foto menggunakan kamera mirorrless Fujifilm Xpro 2, dan lensa Fujinon XF 14 mm f2.8, Fujinon XF 35 mm f2 dan lensa Carlzeiss Jena Tessar 50 mm f 2.8 (with adapter)
baca juga https://armansyahputra.com/2016/12/24/semalam-di-pulau-penyengat/
24 Sabtu Des 2016
Posted Home, Perjalanan
inTag
kepulauan riau, kerajaan melayu, kesultanan melayu, melayu, melayu riau, pariwisata, Perjalanan, pulau penyengat, solo traveling, wisata sejarah
Waktu menunjukkan jam 13.00 wib dan langit masih tertutup mendung, namun panas dan gerah terasa menguras energi. Aku berjalan di dermaga Pulau Penyengat dan berhenti di sebuah warung makan persis di depan Masjid Raya Sultan Riau . Aku memesan segelas es teh manis atau teh obeng dalam istilah setempat dan berbincang dengan anak pemilik warung.
Dia ramah dan bercerita tentang suasana pulau dengan logat melayu yang kental. Walaupun bukan topik itu yang jadi prioritasku tapi aku tetap mendengarkan dengan tekun. Sampai disatu kesempatan aku bertanya tentang jam keberangkatan terakhir kapal “pompong” menuju Tanjung Pinang. Dalam jawabannya dia juga sekaligus menawarkan tempat menginap. Surprise, ternyata dipulau kecil ini sudah ada penginapan dan aku tak berpikir dua kali untuk memutuskan akan bermalam disini.
Catatan perjalanan
Dengan sedikit terburu-buru teh yang terhidang dimeja kuhabiskan. Aku menitipkan ransel diwarung itu, urusan penginapan nantilah batinku. Aku tak sabar ingin segera berkeliling pulau. Becak motor yang menjadi satu-satunya moda transportasi di pulau ini kuabaikan. Dengan waktu yang cukup banyak, jalan kaki menjadi pilihan.
Aku menelusuri jalan dihadapanku. Suasananya begitu sunyi, aku bahkan bisa mendengar langkah kakiku sendiri. Rintik hujan mulai terasa membasahi tubuh bercampur dengan keringat yang tak henti-hentinya mengucur. Aku sedikit khawatir kondisi ini akan menjadi masalah, apalagi ini hari pertama perjalanan. Kalau sakit bagaimana? Jalanan turun naik cukup melelahkan, dengan tubuh “bejekat” benar-benar tak membuatku nyaman. Tapi kubulatkan saja tekad untuk meneruskan langkah seperti rencana semula.
Pulau kecil dengan panjang 2000 meter ini menghadirkan banyak kisah tentang perjalanan kekuasaan selama berabad-abad dan karya besar yang sampai saat ini masih digunakan. Kenapa dinamai Penyengat? Pertanyaan itu menggelitikku. Di kampungku Tanjung Pura sana penyengat itu adalah nama lain dari Tawon yang mekanisme mempertahankan dirinya dengan cara menyengat. Maka di kampungku itu tawon sering disebut penyengat. Apakah ada hubungannya ? Aku mencoba mencari tahu.
Seorang penjaga makam akhirnya bercerita bahwa dulu pulau ini adalah tempat persinggahan kapal untuk mengambil air tawar, masalahnya seringkali para awak kapal itu diserang serangga/tawon yang menyengat sehingga mereka memberi nama pulau ini dengan nama Penyengat atau sekarang sering disebut dengan nama Penyengat Indrasakti
Awalnya pulau kecil ini adalah mas kawin yang diberikan oleh Sultan Mahmud kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah. Di abad ke 18 terjadi peperangan di kerajaan Riau- Johor membuat posisi pulau yang strategis ini menjadi penting, sehingga harus dijaga orang-orang dari pulau tujuh di kepulauan Natuna. Kedudukan Penyengat sendiri berada dibawah Kesultanan Riau Lingga yang berpusat di Daik dan diperintah oleh raja yang bergelar Yang Dipertuan Muda. Namun demikian mereka mempunyai struktur pemerintahan dan tentara sendiri.
Aku tiba di komplek pemakaman yang didominasi warna kuning dan hijau, warna kebesaran kesultanan Melayu. Dipapan tertulis makam Raja Haji Fisabilillah /Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau IV. Dipinggir makam tumbuh dengan kokoh pohon beringin dengan sulur yang menyentuh tanah. Suasananya mistis, sama dengan kisah tokoh Raja Haji Fisabilillah itu sendiri. Disebelah komplek makam terlihat sebuah pondok kecil sangat sederhana tempat beberapa orang duduk. Aku menghampiri mereka dan berbincang. Arif, petugas penjaga makam bercerita panjang lebar tentang Raja Haji Fisabilillah. Beliau adalah Yang Dipertuan Muda IV sekaligus merupakan Yang Dipertuan Muda pertama suku Melayu, karena sebelum beliau Yang Dipertuan Muda I sampai III adalah Daeng dari Bugis. Raja Haji Fisabilillah berangkat ke Melaka dan bertempur secara heroik melawan Belanda yang melanggar perjanjian pajak kapal dan gugur dalam pertempuran itu. Setelah 30 tahun jenazah beliau dimakamkan di Malaka, Belanda berniat memindahkannya ke Batavia/Jakarta sebagai pusat kekuasaan VOC waktu itu.
Dalam perjalanan melewati pulau Penyengat peti keranda terbakar. Khawatir kejadian yang tak diinginkan, kapal merapat ke dermaga Penyengat dan memakamkan Raja Haji Fisabilillah di tempat ini. Tentang kebenaran cerita ini “Wallahualam”, yang jelas belau saat ini telah ditetapkan sebagai salah satu pahlawan Nasional. Disamping makam Raja Haji Fisabilillah terdapat makam Habib Sheikh Bin Habib Alwi Assegaf seorang ulama berasal dari Yaman Selatan yang menjadi guru dan pemimpin agama pada era itu.
Komplek makam Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Komplek makam Raja Haji Fisabilillah dari balik pohon beringin (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Aku dengan beberapa pemuda di komplek makam
Puas mendengarkan cerita, aku meninggalkan Arif dengan segudang catatan dikepala. Langkah mulai tertatih karena letih. Hujan rintik berubah menjadi semakin deras sewaktu aku tiba di komplek pemakaman lainnya. Raja Hamidah atau dikenal dengan panggilan Engku Putri permaisuri dari Sultan Mahmud Shah III, Anak perempuan pertama dari Raja Haji Fisabilillah. Menurutku,beliaulah sebenarnya pemilik pulau ini karena seperti ceritaku di awal pulau ini adalah mas kawin dari sang raja kepadanya.
Aku berteduh di kios kecil yang menjual cinderamata disebelah komplek makam. Sambil menunggu hujan reda aku sempatkan berbincang-bincang. Sayangnya tak banyak informasi yang bisa kugali. Didepan makam terdapat bangunan yang sudah kosong. Beberapa tahun lalu di dalam bangunan ini terdapat genset dengan ukuran cukup besar sebagai sumber energi listrik untuk penduduk. Sekarang tak berfungsi lagi karena listrik dipasok dari Batam melalui kabel bawah laut.
Cinderamata berbentuk perahu lancang kuning terbuat dari kerang laut (Fujifilm Xpro 2/lensa manual Carlzeiss Jena Tessar 50 mm f 2.8)
Asbak rokok terbuat dari kerang laut (Fujifilm Xpro 2/lensa manual Carlzeiss jena tessar 50 mm f 2.8)
Penjual cinderamata di samping komplek makam Engku Putri (Fujifilm Xpro 2/Lensa manual Carlzeiss Jena Tessar 50 mm f 2.8)
Ketika hujan mulai reda, aku ke komplek makam Engku Putri. Selain makam Engku Putri terdapat beberapa makam lain, diantaranya makam Raja Ali Haji sang pujangga dan sastrawan istana . Dari tangannya lahir gurindam (kalimat puisi yang berisi nasehat) berjumlah 12 pasal sehingga dikenal dengan Gurindam 12. Ditulis dalam huruf Arab dan diterbitkan di negeri Belanda tahun 1854
Keduabelas pasal itu banyak dituliskan ditempat maupun makam, aku menyukainya terutama kalimat-kalimat di pasal ke-7
“Apabila banyak berkata-kata, Disitulah jalan masuk dusta. Apabila banyak berlebih-lebihan suka, itulah tanda hampirkan duka. Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat. Apabila anak tidak dilatih, jika besar bapaknya letih. Apabila banyak mencela orang, itulah tanda dirinya kurang. Apabila orang yang banyak tidur, sia-sia sahajalah umur. Apabila mendengar akan khabar, menerimanya itu hendaklah sabar. Apabila mendengar akan aduan, membicarakannya itu hendaklah cemburuan. Apabila perkataan yang lemah lembut, lekaslah segala orang mengikut. Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah orang sekalian gusar. Apabila pekerjaan yang amat benar, tidak boleh orang berbuat onar”
Komplek makam Engku Putri (Fujifilm Xpro 2/ Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Komplek makam Engku Putri (Fujifilm Xpro 2/ Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Makam Engku Putri (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Komplek makam Engku Putri dari kejauhan
Dhadapanku terlihat papan petunjuk arah menuju benteng bukit kursi. Tak jauh dari tempat itu terdapat bangunan yang tak terlalu luas, namun dibangun dengan tembok setebal lebih dari 20 cm. ini adalah tempat penyimpanan mesiu pada masa itu. Terlihat kokoh namun kondisinya sedikit kurang terawat. Aku menaiki tangga tangga dan mendorong pintu kayu pelan-pelan, terdengar bunyi berderit dari engsel berkarat. Ruangan kosong, dikiri kanannya terdapat ventilasi berupa jendela ditutupi jeruji besi. Konon kabarnya terdapat empat bangunan sejenis di pulau ini pada masa itu, sekarang hanya tinggal ini yang tersisa. Memang sejak eksodus tahun 1911 dimana lebih dari 5.000 orang dari 6.000 jiwa penghuni memutuskan untuk pindah ke Singapura dan Johor menyebabkan banyak bangunan dijarah atau hancur dimakan waktu. Penyebab eksodus itu sendiri tak lain dari pertikaian politik dan peperangan.
Gudang Mesiu (Fujifilm Xpro 2/ lensa manual Carl Zeis Jena Tessar 50 mm f 2.8)
Konon menurut cerita penduduk setempat, dulu gudang mesiu ini berjumlah empat di berbagai lokasi, namun saat ini hanya tinggal 1 yang tersisa (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Bagian pintu masuk ke gudang mesiu (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Aku di gudang mesiu (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Sepi, tak ada seorangpun manusia terlihat. Aku pindah ke sebuah komplek makam yang cukup luas terletak diatas bukit dengan puluhan anak tangga untuk mencapainya. Dengan semangat yang masih menyala aku menapaki anak tangga menuju makam. Dipapan tertulis Makam Raja Abdul Rahman Yang Dipertuan Muda VII. Sejarah mencatat bahwa beliaulah yang memprakarsai pembangunan Masjid Raya Sultan Riau yang terletak tak jauh dari komplek makam ini
Komplek makam Raja Abdul Rahman/ Yang Dipertuan Muda VII (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Komplek makam Raja Abdul Rahman/ Yang Dipertuan Muda VII dari sisi berbeda (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Hari menjelang gelap, aku masih punya waktu dan memutuskan untuk mendaki bukit menuju benteng Bukjit Kursi yang tak jauh dari komplek makam Raja Abdul Rahman. Untuk mencapainya aku melewati gerbang yang telah rusak dan taman yang tak terawat dipenuhi semak. Uniknya benteng ini berbentuk parit dan terdapat meriam disetiap sudut yang strategis. Meriam-meriam itu konon didatangkan dari Eropa, aku melihat ada lambang VOC disetiap meriamnya. Menurut cerita penduduk pulau awalnya jumlah meriam di benteng ini ada 80, sekarang hanya beberapa yang tersisa. Walau tertutup semak aku masih bisa melihat pemandangan laut tempat moncong meriam diarahkan. Sayang mendung tak kunjung usai dan aku gagal melihat merahnya matahari terbenam.
Benteng bukit kursi dikelilingi parit (Fujifilm Xpro 2/ Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Tak mau berlama-lama aku memutuskan untuk mengakhiri perjalananku hari ini. Menuruni bukit dengan kaki yang mulai lelah menuju ke penginapan . Diperjalanan aku bertemu dan berbincang dengan seorang penduduk pulau, dia ramah menawarkanku untuk minum air tebu tapi dengan sopan kutolak
Jembatan untuk melintas benteng (Fujifilm Xpro 2/ lensa manual Carlzeiss Jena Tessar 50 mm f 2.8)
Susunan batu yang membentuk benteng bukit kursi (Fujifilm Xpro 2/lensa manual CarlZeiss Jena Tessar 50 mm f 2.8)
Meriam benteng bukit kursi (Fujifilm Xpro 2/ Fujinon XF 14 mm f 2.8)
Meriam benteng bukit kursi (Fujifilm Xpro 2/ Lensa manual Carlzeiss Jena Tessar 50 mm f 2.8)
Penginapan Shultan berada tak jauh dari Masjid Raya Sultan Riau, aku membayar untuk satu malam sebesar Rp. 150.000,- Menempati kamar dilantai 2 aku menjadi satu-satunya tamu yang menginap malam itu. Penginapan cukup bersih dengan ukuran kamar yang luas. dan satu-satunya fasilitas yang disediakan adalah kipas angin.
Aku mulai membongkar ransel dan mencari peralatan mandi dan aku tak menemukan sabun. Diluar mulai gelap. Suara Azan magrib berkumandang dari Masjid Raya Sultan Riau, waktu tiba-tiba listrik padam dan seluruh pulau gelap gulita. Mendadak mood ku berubah, kesal karena perlengkapanku belum kubereskan dan aku belum mandi. Aku hanya melongo di sudut tempat tidur sampai akhirnya aku memutuskan untuk makan malam. Bagaimanapun aku harus menjaga kondisiku tetap sehat.
Didepan penginapan terdapat beberapa warung yang menyediakan makanan, tak banyak menu tersedia dan aku memesan nasi goreng dan makan dikegelapan. Beberapa orang menyapaku, sambil bercanda mereka bilang bahwa inilah kondisi pulau penyengat diwaktu lampau dan aku cuma bisa tersenyum masam. Malam makin larut dan rasa malasku semakin menjadi-jadi. Waktu akhirnya listrik menyala pun aku masih tak berniat untuk mandi. Aku cuma berbaring dan menghayal dijajah rasa kesalku karena gagal memotret masijd diwaktu malam.
Masjid Raya Sultan Riau diwaktu malam (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 35 mm f 2)
Pulau penyengat di waktu malam, dari kejauhan terlihat lampu dari kota Tanjung Pinang (Fujifilm Xpro 2/Fujinon XF 35 mm f 2)
Diluar sana suara hiruk pikuk anak kecil tak terlalu kuhiraukan, mereka berlarian karena besok adalah hari besar dimana akan diadakan pawai keliling untuk menyambut Maulid Nabi. Sejenak kupaksakan diriku mengambil kamera dan memotret Masjid dari teras penginapan. Tak ada niat untuk keluar karena lelahku dan kemalasanku. Aku berbaring sampai tertidur melewatkan malam tanpa mimpi samasekali.
(Cerita perjalanan tanggal 11 Desember 2016)
22 Kamis Des 2016
Posted Home, Perjalanan
inTag
fujifilm xpro 2, Indonesia, indonesia bagus, kepri, kepulauan riau, medan batam penyengat, solo traveling, traveling
Apa yang kita alami hari ini mungkin kita anggap biasa saja , padahal tanpa kita sadari sesungguhnya kita sedang menciptakan masalalu–Dee
Aku memulai perjalanan subuh dari rumah agar tak tertinggal pesawat Lion JT 970 yang akan membawaku menuju pulau Batam. Setelah melewati semua prosedur standard di bandara, akupun masuk kedalam kabin dan duduk di kursi 16 F. Disebelahku duduk seorang nenek yang akan mengunjungi anaknya. Beliau rajin bercerita tentang kampungnya di Samosir sana. Dia bilang dia harus berangkat sehari sebelum penerbangan dan menginap ditempat sanak saudaranya di Lubuk Pakam. Aku sempat membantu nenek memasangkan safety belt dan tak terlalu serius menanggapi pembicaraannya. Aku lebih asik dengan lamunanku tetang tempat yang ku tuju sambil sesekali melihat ke jendela. Menjelang pendaratan, pesawat berputar-putar di Batam. Pulau yang pernah menjadi tempatku mengais nasib 5 tahun lamanya. Tapi ini bukan perjalanan nostalgia karena pasti akan berbeda kisah disetiap episodenya walaupun akupun tak tahu atau lebih tepatnya tak peduli ini perjalanan tentang apa.
Pulau Batam dari atas pesawat Lion Jt 970 sesaat sebelum mendarat
Menuju terminal kedatangan di Bandara Hang Nadim Batam
Terminal kedatangan bandara Hang Nadim Batam Kepulauan Riau
Jam 08.16 WIB pesawat mendarat mulus di Bandara Hang Nadim Batam. Diluar sana langit masih tertutup mendung yang pekat. Lagu Antara Anyer dan Jakarta menyambutku di Provinsi Kepulauan Riau. Terminal kedatangan masih sepi, aku menyempatkan untuk melihat sekeliling dan tak ada yang berbeda dibandingkan dengan sewaktu aku terakhir datang kesini beberapa tahun lalu, mungkin yang berbeda adalah kali ini tak ada yang menjemput di terminal kedatangan.
Kopi menjadi hal pertama yang ada dikepalaku saat itu. segelas kopi seperti biasa akan membantuku berpikir. Ketika gelas hampir kosong barulah kuputuskan untuk memilih rute perjalanan. Pulau Penyengat dan itu artinya aku harus segera berangkat ke pelabuhan Punggur dan memulainya dari sana. Aku berjalan menuju stasiun Damri, sayang tak ada rute ke Punggur. Aku coba aplikasi Gojek dan bisa ditebak sejurus kemudian aku sudah diatas sepeda motor.
Pilihanku menggunakan moda transportasi ini ternyata tak salah, jalanan macet karena pelabuhan dan akses menuju pelabuhan sedang mengalami renovasi berat. Sewaktu aku memasuki gedung terminal, teriakan dari arah counter tiket terdengar tak asing namun cukup mengagetkanku. Masing-masing menawarkan harga termurah atau jam keberangkatan yang lebih cepat. Suasana begitu berisik, padahal tak banyak calon penumpang. Aku memilih satu diantara counter tersebut. Penjaga loket menawarkan tiket ke pulau Dabo. Sejenak aku hampir tergoda, sedetik kemudian aku kembali ke rencana awal. Tiket seharga Rp. 52.000 berpindah ketanganku, ditambah pajak pelabuhan sebesar Rp. 10.000 dan aku sudah berada di kapal Marina Batam 2.
Suasana di pelabuhan Punggur, dalam pengerjaan untuk perbaikan
Bangunan darurat yang berfungsi sebagai counter tiket
Perlahan kapal meninggalkan pelabuhan, petugas mulai mengecek tiket penumpang. Didalam kapal, diputar film action Mandarin, sementara penumpang sibuk berbincang atau berlalu lalang. Aku naik ke dek kapal, disana tampak beberapa orang melakukan hal yang sama. Aku menghirup aroma laut dan membiarkan angin masuk ke pori-pori. Aku memang merindukannya. Tak ada polusi, hanya terdengar deru mesin dan tiupan angin mengguncang tubuhku.
Marina Batam 2, kapal yang akan membawaku ke Tanjung Pinang
Petugas pemeriksa tiket kapal
Menjelang siang, kapal Marina Batam 2 merapat di dermaga Sri Bintan Pura Tanjung Pinang. Menuju ke gerbang keluar pelabuhan kembali aku diteriaki orang yang menawarkan jasa ojek atau taksi gelap yang siap membawaku ke tujuan. Aku tak terlalu menghiraukan dan berlalu begitu saja sambil melempar sedikit senyuman.
Pemandangan dari atas kapal Marina Batam 2
Tali temali
Dari atas kapal Marina Batam 2
Disepanjang tepi laut dekat pelabuhan nampak tertata rapi tak seperti tahun-tahun kemarin. Penataannya mirip pantai Losari di Makassar. Pohon-pohon ditanam di pinggir jalan, sayangnya tak mampu menahan panas yang menyengat. Aku memilih untuk berteduh di bawah tugu berbentuk daun yang tak tahu maknanya dan tak hendak mencari tahu. Dikejauhan aku melihat sebuah pulau kecil. Penyengat nama pulau itu. Pulau yang menjadi bagian sejarah imporium kerajaan Melayu dimasa lalu, pulau yang melahirkan gurindam 12 yang terkenal itu dan pulau kecil yang melahirkan bahasa pemersatu yang digunakan sebuah negara besar bernama Indonesia. Lekat kupandangi pulau yang terakhir aku kunjungi sekitar 5 tahun yang lalu. Sebentar lagi aku akan menuju kesana.
Tiba dipelabuhan Sri Bintan Pura Tanjung Pinang
Portir yang siap membantu penumpang kapal mengangkat barang-barang
Pelabuhan domestik Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang
Selesai makan siang, aku berjalan menyusuri lorong toko menuju pelabuhan Penyengat. Sebuah pelabuhan kecil yang letaknya persis disebelah pelabuhan Sri Bintan Pura. Tua namun masih terawat baik, itu kesanku. Aku mendaftarkan diri menjadi penumpang dan meraih life jacket yang disediakan. Kiranya karena kejadian beberapa waktu lalu dimana sebuah kapal kayu yang biasa disebut pompong terbalik dan menewaskan beberapa penumpangnya membuat otoritas jadi memperhatikan keselamatan penumpang. Sayangnya kenapa bangsa ini selalu belajar jika sudah ada kejadian yang menelan korban jiwa ?
Di Tanjung Pinang dengan latar pulau Penyengat
Pompong melaju, suara mesin tempel begitu berisik tak seimbang dengan kecepatannya. Beberapa kali berselisih dengan kapal yang lebih besar nakhoda terpaksa melambatkan kecepatannya karena khawatir ombak membalikkan kapal. Sesekali air laut masuk kedalam pompong dan membuat kacamataku berbintik terkena air asin. Sisi lengan bajuku juga ikut basah karena percikan itu. Sebagian besar penumpang sepertinya adalah penduduk pulau Penyengat. Rata-rata mereka berbicara dengan logat Melayu yang kental. Sangat mirip dengan bahasa yang dipakai di Semanjung Malaysia. Sejenak aku berpikir ini Malaysia atau Indonesia 🙂
Gerbang dermaga ke Pulau Penyengat, banyak terdapat penjual otak-otak disekitarnya
Suasana di dalam pompong menuju pulau Penyengat
Hanya butuh 15 menit pompong sampai ke tujuan. Dengan beban ransel yang lumayan berat aku terhuyung menaiki tangga dermaga, didepanku terlihat bangunan berwarna kuning terang dengan ujung menara lancip. Masjid Sultan Riau batinku dan selamat datang di Pulau Penyengat.
16 Minggu Okt 2016