Ditengah hujan yang mengguyur tak henti dan pengunjung yang penuh sesak seolah tak peduli, Jogjakarta selalu terasa istimewa dan tak pernah kehilangan sisi romantisnya.

Sudut jalan Malioboto yang selalu dipenuhi pengunjung untuk berfoto dibawah tulisan jalan Malioboro

Calung punk, alat musik dari bambu dengan serasi memainkan musik-musik punk
Jogjakarta tak hanya sekedar kota yang sarat dengan cerita masalalu. Berkunjung untuk kesekian kalinya ke Jogjakarta tak pernah membuatku bosan. Melangkahkan kaki disepanjang jalan Malioboro yang legendaris selalu membuatku ingin berlama-lama di kota ini.

Jalan Malioboro dengan andong sebagai angkutan khasnya

Trotoar di sepanjang jalan Malioboro, lebih tertata rapi

Khusus parkir andong
Walaupun awalnya hanya datang karena tugas, aku tak ingin melepaskan kesempatan untuk menikmati kota. Menginap dikawasan jalan Sosrowijayan, setiap malam bila tanpa hujan aku menghabiskan waktu dengan duduk di bangku trotoar, memperhatikan orang berlalu lalang sampai pagi menjelang. Mereka berkelompok membawa kamera atau pasangan kekasih yang berpelukan mesra berlalu dari hadapanku dengan tawa bahagia.

Seorang pengamen dengan angklung di trotoar toko Malioboro

Lampu andong

Pasar Bringharjo

Tukang becak, menunggu penumpang di pasar Bringharjo Jogjakarta

Kuli angkut di pasar Bringharjo, Jogjakarta
Bila pagi tiba, aku bersama temanku memacu sepeda motor bebek matic sewaan menuju tempat-tempat yang tak kalah istimewanya. Walau kerap terhambat hujan aku tak pernah menyesalinya.

Kaos dengan gambar-gambar menarik

Becak Jogjakarta

Pedagang sayur di kaki 5
Cukup mengganti sepatu basah yang membuat kaki kecut menciut dengan sepasang sendal jepit yang kubeli di mini market, perjalanan kembali dilanjutkan. Candi Borobudur, candi Prambanan, istana Ratu Boko tak kulewatkan. Bahkan ketika harus memanjat tembok untuk mengambil sebuah foto di Taman Sari pun kulakukan .

Bahagia bermain catur di trotoar Malioboro
Sayang, keraton simbol kekuasaan Jogjakarta, gagal kuabadikan. Waktu yang sudah terlalu sore membuatku tak punya daya untuk memaksa penjaga membuka gerbang istana.

Benteng Vredeburg Joogjakarta

Fotografer mengabadikan benteng Vredeburg

Istirahat sejenak di benteng Vredeburg Jogjakarta

Gedung Bank Indonesia Jogjakarta

Gembok cinta di km 0 Jogjakarta

Taman Sari
Waktu, menjadi hal yang sangat sulit kutaklukkan pada saat itu. Niat untuk bangun pagi hanya menjadi angan-angan, ketika jam tanganku ternyata sudah menunjukkan pukul sepuluh siang. Dengan terkantuk kami tetap tak melewatkan tour volcano di gunung Merapi. Letusan bertahun-tahun lalu, menyisakan batuan disekitar lereng yang harus jatuh bangun kutaklukkan. Begitupun hasrat untuk menyaksikan sendiri sisa keganasan Merapi tak terkalahkan oleh rintangan.

komplek Taman Sari

Komplek Taman Sari, sebagian hanya tinggal sisa-sisa reruntuhan

Komplek candi Prambanan

Aku di komplek candi Prambanan

Seorang turis dari Negeri Belanda sedang “pose” di salah satu candi komplek Prambanan

Tak jauh dari komplek candi Prambanan terdapat Istana Ratu Boko

Istana Ratu Boko
Motor trail 150 cc, meraung-raung kadang harus didorong hanya untuk sekedar melewati batas jalan. Pemandangan gunung Merapi yang pada saat letusan terakhirnya menelan Mbah Maridjan sang penjaga begitu megah sekaligus menyisakan kengerian.

Kali Adem, yang dulunya berfungsi mengalirkan lahar akibat letusan gunung Merapi

Motor trail 150 cc menemaniku menjelajah Merapi

Bunga edelweis yang dipetik dan dirangkai, banyak dijual di sekitar bunker Kali Adem

Gamelan mbah Maridjan yang ikut rusak karena diterjang awan panas wedus gembel

Wedang luwuh, minuman para raja
Jogjakarta, kota yang pernah dijuluki kota sepeda dan kota pelajar ini, selalu menyisakan kenangan.
(Foto menggunakan kamera Fujifilm Xpro 2, lensa fuji 14 mm, fuji 35 mm dan Carlzeiss 50 mm)
3.578862
98.657351