• Home
  • Perjalanan
  • Fotografi
  • Buah Pikir
  • Medan
  • Tentang saya

Category Archives: Medan

Medan kota tempat tinggal ku

BAGAN DELI, HITAM PUTIH KAMPUNG NELAYAN

16 Minggu Okt 2016

Posted by Arman in Home, Medan

≈ Tinggalkan komentar

Tag

belawan, Braun SR 2000, dermaga kayu, hitam putih, jembatan gantung bagan deli, kamera slr 35 mm, kampung nelayan, kelurahan bagan deli, kodak tri-x asa 400, Medan, nelayan tangkap, photogrphy hitam putih

Bagan Deli, Hitam Putih Kampung Nelayan —- Tak Jauh dari pusat kota Medan, tepatnya di kecamatan Belawan, Kelurahan Bagan Deli, kampung ini terkesan kumuh dan sederhana. Rumah berhimpit, dibatasi  gang sempit menjadi pemandangan biasa.

Kodak Tri-X 400

Jembatan gantung yang menghubungkan daratan dengan rumah-rumah kampung diatas air

Kodak Tri-X 400

Berkunjung ke kampung Nelayan Bagan Deli pada suatu sore dengan berbekal kamera Braun SR 2000 , aku mencoba mengabadikan kehidupan warga dan merekamnya difilm 35 mm hitam putih Kodak Tri-X asa 400.

Kodak Tri-X 400

sekelompok anak dengan gembira bermain air laut bercampur sampah di sekitar rumahnya, tak ada komentarku  lebih lanjut tentang foto ini

Orang-orang sering menyebut tempat ini dengan sebutan “kampung nelayan” itu karena posisinya yang berada di dekat laut dan profesi penduduknya yang sebagian besar sebagai nelayan tangkap.

perempuan bahan deli

Seorang ibu yang baru selesai memandikan anknya, awalnya sedikit keberatan waktu aku mau mengambil fotonya

Kodak Tri-X 400

Bagian paling menyenangkan adalah menyaksikan kelompok anak yang baru pulang dari sekolah, masa depan kampung ini ditangan mereka kelak

anak bagan deli

Menjaga adik

Rumah-rumah mereka  dibangun bergaya panggung, terbuat dari kayu dan menjorok ke laut terlihat kurang teratur. Meski kurang hygienis dari sudut pandang kesehatan, namun dari sudut pandang photography menjanjikan hasil foto yang sangat menarik.

sepeda butut

Sepeda diantara tumpukan kayu atau lebih pas disebut puing

anak kecil di bagan deli

Dua orang anak, bertelanjang dada dan kaki sedang bermain, ada kekhawatiran melihat meeka begini, karena mudah sekali benda-benda tajam menusik kaki mereka

Aku memilih duduk di pinggir dermaga kayu  sambil memandang kapal lalu lalang, tiba-tiba seorang lelaki sudah berdiri disampingku. Dia bertanya maksud dan tujuanku, bercerita tentang kampung kelahirannya dan betapa sering  pejabat kota datang kesini, menjanjikan perbaikan yang tak kunjung  terealisasi.  Aku hanya diam mendengarkan, tak ada keinginanku  untuk berkomentar apalagi beropini.

Kodak Tri-X 400

Potret anak Bagan Deli

Cuaca yang bersahabat membuatku lebih bersemangat menekan shooter kamera daripada mendengarkan keluh kesahnya. Bukannya tak berempati, aku hanya merasa tak punya solusi

RAJAH DI MEDAN INTERNATIONAL COFFEE FESTIVAL 2016

16 Senin Mei 2016

Posted by Arman in Home, Medan

≈ Tinggalkan komentar

Tag

festival, kopi, Medan, Medan international coffee festival 2016, Pentax K30, SMC Pentax 50 mm f 1.7

Waktu mendengar Festival Kopi, dengan embel-embel “internasional” pastilah  tentang kopi termasuk pernak-perniknya. Terbayang olehku ruang pamer yang dipenuhi dengan foto atau video yang menyuguhkan gambaran tanaman, petani, tataniaga, cara menyuguhkan  atau apapun yang berkaitan dengan kopi. Tak ketinggalan sebuah layar lebar yang memutarkan film dokumenter tentang sejarah kopi dan kehidupan petani kopi di negara-negara produsen atau kebiasaan orang di negara penikmat kopi.

img_20160515_172334_145.jpg

Sada Coffee, salah satu peserta produsen dan peserta Festival dengan produk unggulannya kopi arabica “Gayo” , memberikan rasa wine pada seduhannya /Pentax K30 (digital), SMC Pentax K 50 mm f1.7)

Di stan pameran, para barista dari berbagai daerah dan negara berdemonstrasi meracik kopi. Para produsen, pedagang dan petani berkumpul membawa hasil kopi terbaik, bernegosiasi dan berakhir dengan sebuah kerjasama. Masyarakat yang awam sepertiku akan disuguhkan suatu pertunjukan yang akan membuatku semakin mencintai kopi.

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya aku sadar bahwa ini untuk kesekian kalinya aku kecewa.  Judul yang terasa wah menjadi hambar waktu aku melihat stan hanya berisi sedikit produk sample tanpa nuansa festival yang menjadi hayalku . Yang justru menarik perhatianku adalah sekelompok artis tatoo sedang beraksi. Dengan tubuh warna warni hasil rajahan, mereka tampak menonjol. Bahkan salah seorang dari mereka merajah hampir seluruh wajahnya sampai membuatku ngilu. Pada kenyataannya  stan tatoo ini justru lebih ramai dibandingkan dengan stan  kopi. Sehingga muncul keraguanku “Festival tatoo atau kopi?”

img_20160515_172029_715.jpg

Artis tatoo dengan rajahan yang hampir menutup seluruh wajahnya (Pentax K30 , lensa SMC Pentax 50 mm f 1.7)

img_20160514_165202_971.jpg

Pentax K30/ lensa SMC Pentax 50 mm f 1.7

Pembawa acara berkeliling stan dan berbincang dengan peserta. Dengan pengeras suara mencoba bertanya pada peserta yang seingatku berasal dari Tunisa. Mungkin dia ingin membangun image “International” seperti judul acara.  Sayangnya si Tunisia justru membicarkan panganan di negaranya  yang yang tak ada sangkut pautnya dengan kopi. Di tambah lagi di panggung utama berlangsung talkshow membahas traveling. Aku pun jadi pusing sendiri.

img_20160514_164820_903.jpg

Pentax K30/SMC Pentax 50 mm f 1.7

img_20160514_165944_764.jpg

Pentax K 30 /SMC Pentax 50 mm f 1.7

Seseorang datang mendekat, dia menginformasikan bahwa nanti malam ada pemilihan miss coffee. Aduh..apalagi ini, aku makin bingung dengan fokus acaranya. Alangkah baiknya jika kegiatan seperti itu dibuat terpisah ? Bukankah akan jauh lebih menarik  jika setiap bulan ada festival di Kota ini. “Festival seni rajah, festival traveler, festival putri-putrian ?”

imgp3712.jpg

Pentax K30/SMC Pentax 50 mm f 1.7

 

img_20160514_165748_395.jpg

Pentax K30/SMC 50 mm f 1.7

No tea, no tomato juice
You’ll see no potato juice
The planters down in Santos all say “No, no, no”

Penggalan lirik lagu “The Coffe Song” nya Frank Sinatra pun bilang tak  ada teh, jus tomat dan jus kentang apalagi tatoo, traveling atau putri-putrian.

“Ini Medan bung !”, sebuah istilah yang bisa diartikan secara negatif atau positif tergantung selera. Sampai jumpa di festival kopi tahun depan, tapi tolong jangan patahkan hatiku lagi.

img_20160515_172930_961.jpg

MASJID RAYA AL-OSMANI

08 Rabu Jul 2015

Posted by Arman in Home, Medan

≈ Tinggalkan komentar

Tag

Arsitektur, Indonesia, Kesultanan Deli, Masjid, Masjid Raya, Medan, Sultan Osman perkasa Alam

Jejak sejarah Kesultanan Melayu Deli

Bunga tanjung kembang semalam
Pohon tinggi tidak berduri
Gelombang besar di laut dalam
Karena tuan, saya kemari

Negeri Palembang, zaman silamnya
Damang lebar daun, nama rajanya
Iskandar Zulkarnain, juga moyangnya
Asal Melayu, dialah tuannya
(kutipan pantun)

MASJID RAYA AL-OSMANI — Sampai “jua” aku ke niat awal Ramadhan, berkunjung ke Masjid lama di kota Medan. Aku menggunakan kata “lama” karena Masjid yang aku kunjungi ini memang sudah berdiri sejak lama, aku tidak mengunakan kata “bersejarah” karena kupikir semua benda memiliki sejarahnya masing-masing. Walaupun niat awalnya aku akan berkunjung ke beberapa masjid lama, tapi apalah daya, karena kesibukan (alasan yang selalu ku buat menutupi kemalasan ku) aku hanya sempat berkunjung ke masjid ini saja. “Jadilah” batin ku.

tampak depan terlihat ciri khas bangunan Masjid Andalusia, Arab dan India

tampak depan Masjid Raya Al-Osmani, terlihat ciri arsitektur bangunan Masjid Arab, India dan Andalusia

Alkisah Tuanku Panglima Muhammad Fadli (Raja Deli ke-3) memecah daerah kekuasaannya menjadi empat bagian, untuk ke-4 orang putranya. Oleh Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan melayu dari Padang Datar (Medan) ke Kampung Alai (Labuhan Deli) dan membangun istana tepat di depan masjid ini. Hanya sayang bangunan istana tersebut tak tampak lagi bekasnya. Kemungkinan dikarenakan karena struktur bangunan istana yang terbuat dari kayu, menyebabkan bangunan tersebut tak cukup kokoh “didera” zaman.

Terletak di Jl. Yos Sudarso km 17.5, kelurahan Pekan Labuhan sesungguhnya letak masjid ini cukup dekat dari pusat kota Medan. Lokasinya persis di pinggir jalan Medan-Belawan, membuat siapapun tak akan kesulitan menemukan tempat ini. Hanya saja dengan kondisi lalu-lintas yang selalu padat akan membuat kita merasa beruntung apabila dalam waktu 60 menit bisa mencapai lokasi. Konon inilah masjid tertua di Medan. Didirikan pada tahun 1854 oleh Sultan Deli ke-7, Sultan Osman Perkasa Alam, masjid yang awalnya berdinding papan ini telah mengalami beberapa kali perbaikan, sehingga menjadi bangunan permanen pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan ke-8). Masjid ini diberi nama “Masjid Raya Al-Osmani” sesuai dengan nama pendirinya.  Namun seringkali orang lebih mengenalnya dengan nama Masjid Raya Medan Labuhan, Karena lokasi berdirinya.

Ambil gendang di kampung jenis
Bunga melati diatas jendela
Makin dipandang semakin manis
Sampai hati menjadi gila
(Kutipan pantun)

Kuning warna yang mendominasi, warna elok yang menjadi symbol kebesaran puak melayu, dikombinasikan dengan warna hijau sebagai symbol Islam dibeberapa bagian. Namun aku tak menemukan minaret (menara azan) di masjid ini. Selain warna,  Masjid ini tak memiliki ciri melayu layaknya sebuah bangunan peninggalan kesultanan melayu Deli. Arsitektur bangunan masjid justru di dominasi ciri Arab, India bahkan Andaluisa. Masing-masing ciri ini terlihat dari bentuk pilar berbentuk hypostyle mirip masjid di Cordoba, kubah utama mengadopsi bentuk kubah dari masjid di Timur Tengah dan kubah kecil di tiang utama berbentuk “bawang” ciri yang terdapat di India dan Pakistan. Hal yang bisa dimaklumi, karena kabarnya arsitek yang membangun didatangkan dari luar Nusantara. Selain itu banyaknya campuran aliran dalam arsitektur bangunan, mencirikan puak Melayu itu sendiri, yang mudah beradaptasi dengan berbagai pemikiran dan kemajuan zaman.

Dominasi warna kuning dengan kombinasi hijau
Pilar masjid mengadopsi gaya masjid di Andalusia
Pintu masuk kedalam masjid

Jendela berhias kaca patri
Bangunan tempat jemaah masjid berwudhu
Beduk

Kentongan
Di halaman Masjid terdapat komplek makan keluarga kesultanan, bentuk nisan berbeda dengan nisan masa kini

Dari jauh Masjid ini nampak menonjol dibandingkan dengan bangunan disekitarnya.  Berdiri kokoh dengan tembok tebal dan warna yang mencolok. Terdapat beduk dan kentongan di kedua sisi. Seperti umumnya Masjid, maka kedua alat ini dibunyikan pada waktu Sholat tiba, namun biasanya hanya diwakili oleh satu alat saja. Jendela menggunakan kaca patri yang didatangkan dari luar negeri, kemungkinan dari China atau Eropa. Corak kaca ini sangat menarik perhatianku, sayang dibeberapa bagian telah rusak atau pecah dan diganti dengan kaca biasa. Terdapat beberapa pintu untuk masuk ke bagian utama Masjid, uniknya sebagian pintu mengunakan metode dorong/Tarik, namun beberapa pintu menggunakan metode geser untuk membuka dan menutupnya

Kaligrafi di dinding masjid
Kaligrafi di dinding masjid
Interior dalam Masjid
Interior dalam Masjid
Mimbar khutbah yang berukir
Mimbar khutbah yang berukir
Langit-langit Masjid
Langit-langit Masjid
Jemaah sedang sholat di dalam Masjid
Jemaah sedang sholat di dalam Masjid

Aku berwudhu di sebuah bangunan di belakang Masjid, usai Sholat aku memperhatikan bagian interior, dinding dihias dengan kaligrafi dari ayat suci Al-quran. Bagian depan masjid yang menghadap qiblat terdapat mihrab (tempat imam memimpin sholat) dan mimbar tempat khatib berkhutbah, terbuat dari kayu berukir tumbuhan dengan warna emas. Langit-langit masjid dipenuhi hiasan dan dibagian belakang masjid terdapat “panggung” kecil yang biasanya digunakan Mu’azzin untuk bertakbir.

Aku duduk bersila di tengah Masjid, memandang sekelilingku, ini symbol kebesaran kesultanan Melayu dimasa lampau sekaligus kebesaran agama Islam itu sendiri. Semoga tak lekang oleh waktu.

Pokok saga ditepi halaman
Lembu tidur diatas jerami
Biar masa berganti zaman
Takkan melayu hilang dibumi
(kutipan pantun)

Medan, 8  Juli 2015

3.730755 98.693068

Armansyah Putra

Medan, Indonesia
+628126046403
arman_poetra@yahoo.co.id

Instagram

Ingatlah saat memulai, sebelum memutuskan untuk berhenti
Semua hal diawali dan berakhir dengan kisah
Love is a temple . . #u2 #one #thejoshuatreetour2019 #thejoshuatreetour2019singapore @u2crazytonight #leicadlux6
Kehilangan mengajarkan tentang arti memiliki . . #hitamputih #monochrome #human
Kita tahu bahwa kita tidak tahu apa-apa. Itulah puncak kebijaksanaan manusia . . #garasikata #bwstyleoftheday #bnw_society #hitamputih

Follow me on Twitter

Twit Saya

Komentar Terbaru

Arman pada BROMO, GUNUNG PARA DEWA
doni pada BROMO, GUNUNG PARA DEWA
Bang Harlen pada PULAU BANYAK
Arman pada PULAU BANYAK
Bang Harlen pada PULAU BANYAK

Top Posts & Halaman

  • FILOSOFI GELAS KOSONG
  • FOUNTAIN PEN

Blog di WordPress.com.

Batal
Privasi & Cookie: Situs ini menggunakan cookie. Dengan melanjutkan menggunakan situs web ini, Anda setuju dengan penggunaan mereka.
Untuk mengetahui lebih lanjut, termasuk cara mengontrol cookie, lihat di sini: Kebijakan Cookie